Copyright © DIGITOYS
Design by Dzignine
Monday, March 18, 2013

KAGATI, LAYANG-LAYANG DARI MUNA


Siapa yang menyangka bahwa layang-layang pertama kali di buat dan di terbang kan oleh seorang manusia Indonesia dan bukan di temukan pertama kali di daratan China seperti yang di sangka orang selama ini. Meski di perlukan penelitian lebih lanjut, keberadaan gua Sugi Patani di pulau Muna, provinsi Sulawesi Tenggara sedikit membuktikan akan hal itu.
Lukisan kolosal pra sejarah berumur 4000 tahun di dinding gua yang terletak di desa Liang Kobori ini menggambarkan seseorang yang sedang menerbangkan obyek berbentuk layang-layang yang di ikat pada seutas tali penghubung. Bila lukisan yang di temukan di gua yang lokasi nya terletak di atas perbukitan kapur ini berumur 4000 tahun, maka ini berarti seseorang yang berada di pulau Muna sudah mengenal cara pembuatan layang-layang dan mengerti cara menerbangkan nya di angkasa, jauh lebih awal di bandingkan seseorang yang menerbangkan nya di cina pada sekitaran 1200 tahun yang lalu.
Hal lain yang bisa di tunjukan dari keberadaan penemuan gambar, yang di lukis dengan materi campuran getah pepohonan dan tanah liat berwarna coklat ini, adalah bahwa pada 4000 tahun yang lalu bercocok tanam telah di kenal oleh masyarakat setempat sebagai salah satu sumber pangan bagi mereka. Layang-layang di gunakan sebagai instrumen pengusir burung atau hama lain nya di persawahan atau kebun-kebun mereka.
Sampai saat ini pun masyarakat di Muna masih sangat akrab dengan ‘kagati’, istilah layang-layang bagi masyarakat setempat. Namun, bahan yang di gunakan untuk pembuatan ‘kagati’ berebeda dengan bahan yang di gunakan pada layang-layang pada umum nya. Masyarakat Muna memilih bahan-bahan yang berasal dari alam untuk di pergunakan sebagai bahan dasar layang-layang. Adalah lembaran-lembaran ‘kolope’ yang di gunakan sebagai badan layang-layang.
Dedaunan kering berukuran lebar ini ‘di tenun’ dengan menggunakan kayu-kayu kering satu sama lain. Tenunan daun ‘kolope’ ini di buat di atas rangka kayu bermaterikan bambu bulu. Sebagai bahan tali penghubung yang akan membawa layang-layang ini terbang ke angkasa, masyarakat setempat memilih pilinan serat buah nanas yang biasa di dapatkan di hutan.
‘Kasopa’, ‘wantafotu’, ‘bhalampotu’, dan ‘bhangkura’ adalah istilah-istilah dalam bahasa daerah setempat yang di berikan oleh masyarakat untuk beberapa jenis-jenis layang-layang (kagati) berdasarkan pembedaan proporsi ukuran rangka nya. ‘Bhangkura’ misalnya, bambu horizontal penyusun rangka nya ( yang sering di istilahkan sebagai ‘kainere’) di ikat pada 1/5 bagian bambu vertikal penyusun rangka nya (sering di istilahkan sebagai ‘pani’).
Panjang ruas ‘kainere’ dan ‘pani’ pun sama (seimbang) untuk jenis layang-layang ‘bhangkura’. Sementara ‘kasopa’ yang memiliki ruas bambu vertikal lebih pendek dari ruas bambu horizontal nya, ikatan ‘pani’ nya berada di 3/7 bagian ‘kainere’ nya. Demikian juga untuk jenis-jenis layang-layang lain nya, rasio ikatan bersama ruas vertikal dan horizontal pembentuk rangka nya berbeda satu dengan yang lain nya. Perbedaan proporsi pada bentuk rangka ini di percaya membawa pengaruh pada kecepatan terbang dari layang-layang tersebut.
Di kalangan masyarakat Muna, layang-layang seolah menyatu dengan kehidupan mereka. Di saat-saat setelah panen – sebagai gambaran kegembiraan dan rasa syukur – masyarakat Muna menerbangkan layang-layang mereka satu minggu penuh tanpa menurunkan nya sehari pun. Layang-layang pun kerap di gunakan sebagai media ‘buang sial’ atau ‘tolak bala’ dengan cara mengikat tali layang-layang dengan sesajen berupa makanan tertentu, biasa nya ketupat, lalu memutus nya sebagai penggambaran memutuskan ‘kesialan’ dari kehidupan mereka.
Selain gua Sugi Patani atau yang di kenal oleh masyarakat setempat juga sebagai ‘gua layang-layang’, masih ada juga obyek wisata yang tak kalah menarik nya yang letak nya tak terlalu jauh dari desa Liang Bokor, yaitu danau berair asin, Napabale dengan legenda ‘Sangke Palangga’ nya. Atau juga danau Motonunu, beda nya danau yang juga berada kurang lebih 15 km dari kota Raha ini berair tawar. Kedua nya bisa di nikmati di Pulau Muna sebuah pulau dengan kota Raha sebagai ibukota kabupaten nya.
Kota Raha sendiri berjarak 3 jam perjalanan dari ibukota provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Melintasi teluk Kendari dan selat Buton dengan menggunakan kapal cepat bermaterikan fiberglass, pemandangan di lintasan nya juga menarik untuk di nikmati. Laju kapal pun melintas melewati pulau-pulau kecil yang tertutup hijau nya pepohonan dengan sesekali melewati rumah-rumah panggung yang berdiri berkelompok membentuk populasi pemukiman penduduk, membuat perjalanan ke menuju pelabuhan Raha menjadi teramat singkat.
Beberapa mercu suar yang berdiri di atas bentangan pasir putih menjadi penanda bahwa perairan di dekat nya teramat dangkal untuk di lewati, walau demikian deretan pepohonan kelapa yang berdiri di belakang nya tetap menyuguhkan pemandangan yang menarik untuk di nikmati dari geladak kapal.
Mendekati pelabuhan Raha, gugusan karang yang berdiri gagah namum indah akan menyambut setiap kapal yang datang. Jl. Bypass Raha, tempat di mana pelabuhan ini berada juga memiliki panorama laut yang mempesona. Anak-anak kecil yang berenang di pinggiran pantai dan kapal-kapal kayu milik nelayan yang bergerak kea rah lautan lepas akan melengkapi pengalaman ekowisata siapa pun yang mengunjungi pulau nan indah ini.



SUMBER : http://jalan2.com

0 comments:

Post a Comment